![]() |
Konferensi pers pengungkapan kasus pengopolosan BBM jenis Pertamax SPBU Ciceri di Mapolda Banten, Rabu (30/4/2025). |
Diketahui, Polda Banten telah menetapkan dua tersangka yaitu pengelola dan pengawas SPBU, yakni Nadir Sudrajat dan Aswan alias Emon.
Mereka dihadirkan menggunakan baju oranye dalam konferensi pers di Mapolda Banten, Rabu (30/4/2025).
Kasus ini berawal dari viralnya video di media sosial pada bulan Maret lalu, saat seorang pengendara motor yang membeli Pertamax di SPBU tersebut menyadari BBM yang dibelinya berawarna hitam pekat.
Wakil Direktur Kriminal Khusus (Wadirkrimsus), AKBP Bronto Budiono mengatakan, kedua tersangka tidak membeli BBM di Pertamina Patra Niaga, melainkan dari pihak lain berinisial DH di daerah Jakarta.
Tersangka Nadir merupakan orang yang menyuruh Aswan agar membeli Pertamax ke pihak lain tersebut dengan harga Rp10.200 per liter dari DH. Pertamax itu kemudian dijual dengan harga Rp12.900 per liter di SPBU Ciceri.
“Pelaku melakukan pembelian BBM olahan dari pihak lain tanpa dilengkapi dengan dokumen apapun, kemudian melakukan pencampuran BBM olahan dengan BBM Pertamax yang masih tersimpan di tanki timbun,” jelasnya.
“BBM Pertamax dengan tujuan seolah olah meniru BBM jenis Pertamax untuk dipasarkan,” sambungnya.
Dari hasil oplosan itu, Polda Banten kemudian melakukan tes lab di laboratorium Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara. Hasilnya diterima Polda pada 5 April 2025 lalu.
Hasilnya, angka final boiling point (FBP) atau temperatur titik didih Pertamax tersebut berada di atas batas maksimum. Dari keterangan ahli BPH Migas, batas maksimal BPH pada bahan bakar minyak, seharusnya di angka 215, tapi hasil sampel tersebut berada di angka 218,5.
“Hasil BBM oplosan tersebut bisa mengakibatkan mesin kendaraannya rusak, jadi ada yang berebet, macet, kemudian kalau panasnnya kurang ada timbal di dalam mesinnya atau kerak, itu dari ahli yang menyampaikan,” ujar Bronto.
Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 54 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp60 miliar.***