JAGATANTERO.COM, SERANG| Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara kepada tiga terdakwa kasus pengoplosan BBM jenis Pertamax di SPBU Ciceri. Mereka adalah Deden Hidayat, Nadir Sudrajat, dan Aswan alias Emon.
Vonis itu dibacakan majelis hakim yang dipimpin Diah Astuti Miftafiatun di ruang sidang Tirta PN Serang, Kamis (25/9/2025).
Ketiganya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 54 Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan tunggal JPU Kejari Serang.
“Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan perbuatan meniru atau memalsukan bahan bakar minyak (BBM) dan hasil olahan sebagaimana dakwaan tunggal,” kata Diah saat membacakan vonis.
Mengenai keadaan yang memberatkan tuntutan, perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat, merusak nama baik PT Pertamina, dan merugikan pengendara pengguna BBM jenis Pertamax.
“Perbuatan terdakwa merugikan konsumen pengguna bahan bakar minyak khususunya jenis Pertamax,” ujar Slamet.
Mengenai keadaan yang memberatkan, majelis hakim menilai para terdakwa menyalahgunakan jabatan, khususnya Nadir Sudrajat sebagai manajer dan Aswan selaku pengawas SPBU Ciceri 34.421.13.
Perbuatan ketiganya juga membuat turunnya kepercayaan publik terhadap PT Pertamina serta merugikan masyarakat.
“Telah secara nyata merusak dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi SPBU,” ujar hakim.
Adapun yang meringankan, para terdakwa mengaku menyesali perbuatannya. Usai mendengarkan vonis tersebut, ketiga terdakwa yang tidak didampingi kuasa hukum mengatakan menerima dan tidak akan mengajukan banding.
Sedangkan JPU Kejari Serang, Slamet mengatakan pikir-pikir. “Pikir-pikir yang mulia,” ujarnya.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang sebelumnya menuntut agar para terdakwa dihukum 4 tahun penjara.
Dalam sidang dakwaan sebelumnya, Slamet mengatakan, peran masing-masing terdakwa yakni Deden sebagai penyuplai, Nadir selaku manajer SPBU Ciceri, dan Aswan alias Emon selaku pengawas SPBU Ciceri.
Slamet menjelaskan, kasus ini bermula pada 17 Maret 2025 silam, ketika Aswan menghubungi Deden untuk membeli Pertamax dengan harga lebih murah. Saat itu, Deden belum memiliki stok.
Beberapa hari kemudian, Deden mendapat tawaran dari seorang bernama Marko, yang kini buron, untuk menjual 16.000 liter BBM olahan dengan harga Rp9.500 per liter.
“Terdakwa Deden menyetujui tawaran tersebut dan langsung menghubungi saksi Aswan dalam rangka menawarkan BBM Jenis Pertamax tanpa Surat Jalan dan tanpa DO seharga Rp10.200 per liter,” kata Slamet saat membacakan dakwaan di PN Serang, Senin (28/7/2025).
Pengiriman dilakukan pada malam hari, 20 Maret 2025, menggunakan mobil tangki berlogo PT Pertamina. Proses pembongkaran dilakukan di SPBU 34.421.13 Ciceri, dan disaksikan oleh ketiga terdakwa.
“Dalam rangka untuk membuat BBM Jenis Pertamax hasil olahan bukan dari PT Pertamina tersebut seolah-olah sebagai BBM jenis Pertamax yang diproduksi oleh PT Pertamina, selanjutnya saksi Nadir Sudrajat dan saksi Aswan kemudian mengarahkan terdakwa Deden untuk mencampurkannya dengan Pertamax asli yang masih ada (tersisa) di tangki pendam,” ucapnya.
Sebanyak 8.000 liter Pertamax resmi dari Pertamina kemudian dicampurkan dengan BBM yang dibeli dari Deden. Setelah itu Deden menerima pembayaran sebesar Rp80 juta dari nilai total Rp152 juta dari Aswan selaku pengawas SPBU.
Sedangkan sisa uangnya, dijanjikan Aswan akan dibayar ketika Pertamax itu habis terjual.
Setelah itu, Terdakwa Aswan mengambil sampel Pertamax yang tercampur itu dan memberikanya kepada saksi Samsul selaku pengawas dan bagian keuangan SPBU Ciceri.
Namun didapati sampel Pertamax itu berwarna biru pekat, tidak sesuai dengan Pertamax asli dari Pertamina.
“Saksi Samsul kemudian melaporkannya kepada Nadir Sudrajat selaku Manajer Operasional SPBU. Nadir Sudrajat kemudian memerintahkan kepada semua karyawan SPBU untuk segera menutup SPBU tersebut dan selanjutnya pada hari Jumat pagi tanggal 21 Maret 2025, Aswan menghubungi dan meminta terdakwa Deden untuk datang ke SPBU Ciceri dalam rangka mencari solusi terhadap BBM jenis Pertamax yang berwarna Biru pekat tersebut,” tuturnya.
Deden lalu menawarkan dua opsi, menyedot ulang BBM atau menambahkan zat pewarna. Namun, usulan itu ditolak Nadir.
Solusi akhir dari Deden adalah menambahkan lagi 8.000 liter Pertamax resmi untuk menutupi perbedaan warna.
“BBM jenis Pertamax tersebut langsung dilakukan pembongkaran (pencampuran) supaya warna BBM jenis Pertamax hasil olahan yang ada di dalam tangki pendam tersebut berubah menjadi warna biru terang sesuai dengan warna BBM Pertamax yang asli dari Pertamina,” sambungnya
Meski telah dilakukan pencampuran dua kali, keluhan dari konsumen terus muncul. Pada 23 Maret 2025 malam, dua nozzle SPBU dilaporkan mengeluarkan BBM dengan warna yang mencurigakan. Esok harinya, Subdit IV Tipidter Polda Banten langsung turun tangan.
“Penyidik dari Subdit IV Tipidter Polda Banten menyegel dua nozzle serta mengambil empat sampel BBM dari tangki pendam untuk diuji laboratorium,” kata Slamet.
Hasil laboratorium tersebut menunjukkan salah satu parameter, yaitu Final Boiling Point (FBP) Pertamax itu, melampaui ambang batas maksimal 215 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Migas, yakni mencapai 218,5.
Ahli dari Badan Pengatur Hilir Migas, Dedi Armansyah, menyatakan bahwa pencampuran Pertamax olahan dengan Pertamax resmi tanpa izin pemerintah merupakan bentuk pemalsuan.
“Merupakan kegiatan meniru atau menyerupai atau memalsukan BBM sehingga seolah-olah BBM Pertamax asli untuk selanjutnya dipasarkan di dalam negeri,” ujar Slamet.(Red)