![]() |
Ricci Otto F Sinabutar, S.H. CPM. (Istimewa) |
JAGATANTERO.COM, OPINI| Kasus Tom Lembong terkait impor gula tidak hanya menguak persoalan hukum semata, melainkan juga memperlihatkan betapa rentannya sistem peradilan kita terhadap intervensi politik. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta menuai kontroversi karena tidak ditemukan bukti kuat mengenai unsur mens rea atau niat jahat yang menjadi kunci pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, hukuman ini tampak seperti hasil proses hukum yang dipaksakan, bukan berdasarkan fakta yang objektif dan adil.
Publik pun merespons dengan skeptis dan mosi tidak percaya terhadap peradilan, menilai bahwa kasus ini merupakan kriminalisasi terhadap figur yang semestinya dilindungi oleh prosedur hukum yang benar. Alih-alih menuntaskan masalah secara legal dan transparan, Presiden dengan dukungan DPR memilih jalan pintas dengan memberikan abolisi atau hak prerogatif yang memungkinkan penghapusan putusan sebelum ada kekuatan hukum tetap. Langkah ini secara sah membatalkan proses hukum yang sedang berjalan, mengabaikan mekanisme peradilan yang telah disediakan untuk menguji ulang putusan tersebut.
Menurut penulis, abolisi yang diberikan dalam konteks ini bukanlah upaya penyelamatan keadilan, melainkan alat politis untuk menutup kontroversi yang bisa mencoreng citra pemerintah dan parlemen. Ini adalah bukti nyata bahwa hak prerogatif Presiden yang seharusnya menjadi instrumen keadilan justru dijadikan tameng untuk menyelamatkan kepentingan politik tertentu, bukan demi tegaknya hukum yang adil dan transparan. Secara hukum, Tom Lembong masih memiliki hak banding, dan pengadilan belum menghasilkan putusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap, namun pemerintah memilih mengabaikan proses itu demi pencitraan semu.
Lebih jauh lagi, kasus ini harus dilihat sebagai bagian dari strategi pengalihan isu besar. Di tengah kontroversi kebijakan pemerintah seperti UU TNI,Revisi UU Polri, rencana pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana baru yang penuh masalah dan dianggap tidak berpihak pada rakyat, kasus Tom Lembong dijadikan alat distraksi politik untuk meredam kritik publik dan menaikkan kepercayaan pada eksekutif dan legislatif.
Situasi ini menggarisbawahi perlunya masyarakat untuk lebih kritis dan aktif mengawal kebijakan publik serta independensi lembaga peradilan. Tanpa pengawasan yang kuat, hak prerogatif seperti abolisi berpotensi disalahgunakan sebagai alat politik, yang pada akhirnya justru melemahkan sistem hukum dan memperparah ketidakadilan sosial.
Keadilan bukanlah panggung sandiwara politik yang bisa dipentaskan sesuka hati para penguasa. Ini adalah panggilan bagi seluruh elemen masyarakat untuk menolak segala bentuk kriminalisasi dan manipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan.
Penulis: Founder JustitiaLens_Ricci Otto F Sinabutar_S.H. CPM