![]() |
Ilustrasi |
JAGATANTERO.COM, JAKARTA| Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024. Menurut BPS, deflasi sejak Mei 2024 sebesar 0,03 persen. Lalu turun menjadi 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, 0,03 persen di Agustus, dan 0,12 pada September 2024.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) Rhenald Kasali menilai, kondisi deflasi beruntun ini menandakan lesunya masyarakat ekonomi kelas menangah. Pasalnya deflasi atau penurunan harga barang dan jasa akibat berkurangnya uang yang beredar terjadi dalam lima bulan terakhir.
Merespons hal itu, dia meminta pemerintah tidak banyak membebani kelas menangah dengan berbagai pungutan.Termasuk Tapera hingga wacana kenaikan pajak penambahan nilai (PPN) 12 persen pada 2025 mendatang.
"Ini memang real di masyarakat, daya beli turun sekali. Satu, karena pendapatan masyarakat berkurang, kenapa? Karena terlalu banyak pungutan, pungutan itu harus dikembalikan ke masyarakat. Negara harus memberi kesejahteraan kepada tenaga kerja," tegas Rhenald usai orasi ilmiah Dies Natalis ke-67 Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Selasa (15/10/2024).
Dia menyebutkan, saat ini di Indonesia banyak barang yang dijual dengan harga memburuk. Salah satunya contohnya yakni beras. Harga beras di Indonesia imbuhnya, 20 persen lebih mahal daripada harga beras yang dijual oleh negara tetangga. Belum lagi pajak, beban cicilan kredit kendaraan atau rumah, lalu biaya pendidikan anak hingga mencukupi kebutuhan keluarga. Hal itu dinilai membebani masyarakat kelas menengah.
"Jadi uangnya udah habis. Pendidikan mahal, uang sekolah itu mahal sekali, sehingga untuk menyekolahkan anak, memberi makan anggota keluarga, bayar dokter, walaupun ada BPJS kan perlu transportasi, beli ini itu mahal," beber dia.
Terbukti, kondisi ini disebut membuat jutaan masyarakat kelas menengah turun kelas menjadi kelompok miskin. "(Ancaman) Ini sudah terjadi, kelas menengah sudah turun, jumlahnya sangat besar, 9,6 juta orang turun kelas, dengan begitu imbasnya ke ekonomi dan ke penerimaan pajak turun juga," lanjut dia.
Padahal masyarakat kelas menengah dinilai sebagai roda penggerak perekonomian negara. Bila kondisi ini terus dibiarkan, dia mengkhawatirkan ekonomi memburuk.
Dia berharap pemerintah menunda kenaikan PPN 12 persen yang membebani kelas menangah dan mendorong mereka bangkit dengan adanya insentif.
"Uang masyarakat habis. Jadi diharapkan ada insentif baru, dan ada relaksasi pajak, relaksasi itu diperlukan," tutur dia.
Lebih lanjut, dia mengimbau agar pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat mengatasi persoalan yang dihadapi kelas menengah itu.
"Mestinya, ini bisa lebih serius dan kelas menengah itu jumlahnya tidak terlalu besar tapi efeknya besar, karena kelas menengah ada di kota-kota besar dan mempunyai sikap politik, berbeda dengan kelas bawah yang tidak punya sikap politik yang bisa diberikan bansos sudah tenang, dan tidak tahu kebijakan politik. Kelas menengah tahu, kritis dan bisa menelusuri dan bisa bergerak," tandas dia. (Red)
Sumber: Kompas.com